Mengakhiri Jejak Terorisme Indonesia

DRAMA penangkapan kelompok teroris di negeri ini seolah tak pernah berakhir. Panggung “teater” terorisme selalu memunculkan nama-nama baru dengan motif gerakan dan identitas yang berbeda. Di balik penangkapan aktor teroris, selalu ada pihak yang merasa menang, karena telah menangkap sumbu gerakan radikal. Polri mendapat aplaus dan pujaan dari segala penjuru.
Namun, semua itu tidak mengubah wajah peradaban di negara Indonesia. Kondisinya masih tetap karut-marut. Bahkan, Indonesia dinisbatkan sebagai rimba terorisme yang tak pernah berhenti melahirkan aktor teroris baru.
Dalam catatan sejarah, pascaperistiwa dahsyat 11 September 2001 di Amerika–yang melahirkan gerakan separatis radikal berjubah agama–Indonesia tak lepas dari ancaman terorisme radikal. Peristiwa Bom Bali telah melahirkan saudara kembar teroris, Amrozi dan Imam Samudra.

Setelah itu, berkeliaran ‘aktor’ teroris yang meluluhlantakkan beberapa tempat, seperti Noordin M Top dan Dr Azhari. Mereka dinyatakan sebagai lokomotif terorisme yang berbahaya. Setelah itu ada Abu Dujana, komandan militer Jamaah Islamiyyah (JI) dan Zarkasih sebagai salah satu pemimpin JI.
Penangkapan Abu Dujana di Banyumas dan ‘Mbah’ Zarkasih alias Zuhroni di Yogyakarta, setidaknya menyiratkan kegalauan bahwa mata rantai terorisme Indonesia tak pernah putus. Bahkan, seakan tumbuh ribuan kader baru untuk meneruskan jejak perjuangan pemimpinnya.

Aksi terorisme yang menempati ruang publik negatif itu justru tak lagi menambah manfaat agama, tetapi malahan menambah kusam wajah agama yang dijadikan simbol pelancaran aksi radikalisme-fanatik.

Islam tidak lagi dihayati sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, tetapi dimaknai sebagai simbol yang memperbolehkan kekerasan dengan beberapa dalil yang terkesan dipaksakan. Itu berarti pemerkosaan ayat agama dengan nafas dan perlakuan berbeda, memaknai ayat agama dengan pemahamam dan keyakinan sempit.

Walau aksi terorisme merupakan spirit perlawanan atas hegemoni penguasa dan kezaliman Barat, tetapi tindakan pengeboman sarana publik justru merugikan rakyat. Tindakan terorisme berjubah agama yang menghalalkan pengrusakan tempat maksiat, tanpa ada upaya nahi munkar yang lebih persuasif, tidaklah dianggap benar.
Justru hal itu menambah kusam wajah agama yang menjadi korban simbol dan komoditas. Agama tak ubahnya barang dagangan yang diperebutkan berbagai kalangan untuk dimaknai menurut kepentingan masing-masing kelompok. Agama terbukti dijadikan mainan di panggung api sejarah! (*)

Aksi terorisme yang menjadi pernik bangsa ini setidaknya menyimpan sejarah luka. Kaum teroris bukanlah diciptakan oleh opini publik yang dipengaruhi penguasa. Terorisme diciptakan oleh sejarah. Terorisme bersumber pada pemahaman tentang jihad yang dimaknai sebagai perang. Hal ini merupakan pendangkalan keberagamaan yang dipolitisasi. Teroris pada hakikatnya adalah korban dari sistem yang menindas, kemudian mencari subjek lain yang menjadi limpahan kesalahan.

Di belahan dunia lain, kemunculan aksi terorisme disebabkan oleh represi dari penguasa yang menindas, perebutan wilayah yang menjadi warisan sejarah dan konflik antaretnis yang mengambinghitamkan kelompok minoritas. Aksi terorisme di Irlandia, Rusia dengan gerakan Chechnya, dan jaringan al-Qaida yang berkembang, itu karena ijtihad perlawanan terhadap hegemoni Barat yang demikian menindas.

Dalam lanskap sejarah terorisme di Indonesia, di samping pendangkalan esensi keberagamaan dan politisasi simbol agama, fundamentalisme ekonomi juga melahirkan spirit kekerasan. Fundamentalisme ekonomi melahirkan kebijakan publik yang cenderung kapitalis, menerkam kelompok minoritas dari kepungan ketimpangan peradaban.

Sedangkan fundamentalisme agama menyiratkan kegalauan lain, menafsirkan ayat agama secara literal dan tanpa melihat konteks dan pemaknaan secara komprehensif. Kedua hal itulah yang menjadi spirit berkembangnya terorisme di Indonesia.

Akar munculnya terorisme yang berjubah agama, melahirkan pemaknaan baru. Mark Jurgensmeyer, (1996: 4-8) membedakan tiga jenis gerakan keagamaan yang bisa mengarah kepada aksi terorisme.

Pertama, apa yang disebut sebagai nasionalisme etnik keagamaan, gerakan keagamaan yang terpaku pada etnik untuk mewujudkan kelompok tertentu. Kedua, nasionalisme ideologis keagamaan. Kelompok itu menjadikan agama sebagai ideologi yang berkembang di sekitarnya. Ketiga, nasionalisme etnik-ideologis keagamaan yang menggabungkan antara aspek etnik dan ideologi yang dibalut unsur keagamaan di dalam gerakannya.

Ketiga motif gerakan ini menjadi basis perkembangan terorisme yang bernapaskan ayat agama. Babak pertunjukan terorisme di Indonesia sebaiknya segera diakhiri. Tak perlu lagi menuding kelompok garis keras atau mengambinghitamkan pesantren sebagai rahim teroris. Terorisme adalah penyakit kenegaraan, bukan komoditas politik untuk mencapai target tertentu dan mengalihkan isu nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar